Monday, March 2, 2009

Menuju hari ke dua ribu : kutukanmu (selesai)

Kuhantamkan martil ini tepat di tengkukmu.
Kau jatuh.

***

Pisau ini sangat tajam. Sudah kuasah dua hari dua malam. Tepat di kerongkonganmu, kutancapkan ia. Darah, merah, mengucur deras. Membasahi wajahku yang sedikit ragu. Tapi harus. Agar segera usai penderitaanku. Kupenggal lehermu. Kupisahkan kepala itu dari badanmu. Dengan begitu, ia tidak akan lagi dapat memerintah tubuh sucimu menyiksaku.


Kuhancurkan kepalamu dengan sebongkah batu. Remuk. Kupukul-pukulkan terus sampai nyaris halus. Bola matamu terdorong keluar karena tulang yang melindunginya telah lebih dulu terpatahkan. Gigimu berantakan. Aku tersenyum senang. Karena dengan begitu akan hilang cahaya dari neraka. Yang menuntunmu menuju luka abadi di liang duka.

Kugergaji pergelangan tanganmu. Tepat di ketiak. Setelah sebelumnya kupatahkan kesepuluh jari itu. Tulangmu keras. Butuh waktu sedikit lama untuk memotongnya. Tapi hasilnya. Membuatku tertawa bahagia. Karena itu berarti, lenyap sudah tangan-tangan kendali setan.

Kali ini giliran perutmu. Ku iriskan pisau membujur. Dari kemaluan sampai tulang rusukmu. Kuburai isinya satu-satu. Usus. Lambung. Hati. Dan terakhir, jantungmu. Yang sepertinya masih berdenyut, biarpun kelu. Kukeluarkan itu semua dan kuberikan pada anjing kelaparan di belakang rumah. Biar yang haram kembali pada yang haram.

Tenang, aku tidak akan memotong kakimu. Yang aku lakukan adalah membelahnya, memisahkan keduanya tepat di selangkangan dimana kemaluanmu berada. Terus sampai busung dada. Dengan gergaji, kuceraikan kanan dan kiri. Sehingga tidak akan ada lagi, perjalanan panjang menuju sepi.

Selesai. Kutumpuk potongan-potongan tubuhmu itu. Kuinjak-injak biar menyatu. Sebelumnya sudah kusiapkan sepuluh batang kayu. Yang kering. Yang siap mengapi. Kubakar badanmu. Yah, aku membakar kamu. Dengan api yang sesungguhnya. Agar kau menjadi abu. Yang tidak lagi berbahaya bagiku.

Kukumpulkan abumu. Dalam wadah berwarna ungu. Serupa senja kala itu. Kala kamu menghukumku.

Aku pergi ke tengah samudera. Kutebar abumu disana. Aku harap ini menyudahi. Hukuman yang pernah kau titahkan. Hukuman yang harusnya diucapkan munkar nankir. Hukuman karena aku terlalu percaya pada takdir.
Hukuman itu.
Adalah kutukan
: sebuah awal tanpa akhir.

No comments:

Post a Comment